Minggu, Mei 24, 2009

Cinta Dua Kutub (Cerpen)



Rintik hujan semakin deras, aku hanya berdiri menunggu di bawah pohon yang rindang. Arlojiku sudah menunjukkan angka 5 sore, pertanda sejam sudah aku menunggu Ita, kemanakah gerangan anak ini…? Kejadian yang sering berulang memang, dia sering telat karena kesibukan yang memang kadang-kadang susah ditinggalkan. Begitulah susahnya punya pacar model, kalau pemotretan belum selesai belum bisa meninggalkan studio.

Ita, gadis yang tinggi semampai ini sudah beberapa bulan menjadi kekasihku. Waktu itu secara tidak sengaja bertemu dia di lokasi pemotretan, aku mengantarkan catering untuk mereka. Ita yang waktu itu sudah kelihatan lapar banget datang cepat-cepat menyambar rantang makanan yang aku pegang, aku yang baru masuk ruangan itu cuman bisa bengong. Rantang segera dia buka, dan dia makan dengan lahapnya.

"Eh Mas, jadi lupa nawarin..., makan yuk...!!!"

"Terima kasih, aku udah makan tadi, lagian kan kamu kelihatan kelaparan, nggak baik ngurangin jatah makan kamu."

"Nggak apa-apa kok, paling aku juga nggak habis, keep on the line bo', nggak boleh makan banyak-banyak", sambil memperlihatkan pinggangnya yang ramping dia merelakan berdiri dan berputar-putar di depanku. Aku cuman bisa bengong melihatnya.

"Ayo...ikut makan.."

Gadis ini baik sekali pikirku, belum saja kenal sudah mau mengajak makan sama-sama, serantang bersama lagi. Aku memutar otak, Ahh, aku tadi lupa mandi, eh bukannya lupa aku memang malas mandi, udah gitu aku nggak pake parfum lagi. Pasti baunya minta ampun, cuaca panas kaya gini. Ah peduli amat, akhirnya kuberanikan diriku duduk bersila didepannya ngadepin itu rantang berdua.

"Mas, bau euy..., belon mandi yach..?'' nah… kan baru saja aku duduk, dia sudah protes.

"Eh nggak apa-apa kok Mas, biasa lagi kalau lagi panas-panas kayak gini…" dia meralat ucapannya yang baru saja bak petir menyambar ubun-ubunku, membuat darah ku berdesir, wajahku memerah… aku melihatnya tersenyum tersenyum manis…, manissss sekali....

Di sampingku si fotografer kelihatan agak kurang ramah denganku, dari tadi dia cuma diam seribu bahasa. Mungkin sakit gigi, atau memang dia biasa jualan senyum seribu perak, aku juga nggak tahu. Akhirnya aku ikut makan juga, sambil sesekali melirik si model yang suka cuap-cuap itu.

Ahh, mimpi apa aku tadi malam…, bisa ketemu bidadari seramah ini. Ohh iya, aku mimpi dikejar-kejar sama maling, loh kok, jadinya ketemu sama gadis, joko sembung bawa golok amat ya', sama sekali ngak ada nyambungnya. Kalau Omku aku ceritakan kejadian ini, dia pasti langsung buka primbon kebanggaannya itu. Kalau mimpinya ini, artinya inilah, nomornya inilah, pantangannya itulah, ahh… sampe ngantuk aku kalau ngomong sama dia. Sangking percayanya dia sama itu primbon, membawa istrinya ke rumah sakit saja perlu-perlunya milih hari yang baik. Dunia memang edan, bukan dunianya tapi isinya yang edan.

Begitulah awal yang indah sekaligus memalukan itu, karena perusahaan mereka langganan dengan catering ibuku, jadilah aku kurir yang tiap hari harus mengantarkan makanan-makanan itu. Dan aku sering bertemu dia, yang belakangan aku ketahui bernama Ratna Sita Amalia. Kita sering bercanda, kadang sampai kelewatan, sampai kadang aku sedikit jengkel, habisnya mentang-mentang dia cantik rupawan dan harum menawan, selalu mengejek aku yang belum mandilah, parfumnya bau sapilah, kulitnya kaya kuda nillah, yang kalau aku ingat-ingat semua bisa sakit hati aku. Untung saja dia cantik, kalau nggak udah aku makan dia. Biar saja orang mengiraku Sumanto.

Dia ini hp-nya nggak pernah berhenti berdering, kecuali kalau lagi pemotretan, yang malam ini diajak nonton filmlah, ditraktir di restoran yang mahalnya amit-amitlah, diajakin nonton konserlah, pokoknya ngak ada berhentinyalah. Aku yang diceritakannya, cuman tambah melongo saja, nggak tahu musti bilang apa. Sampai suatu sore, ketika aku mengantarkan rantang lagi, mukanya sembab, seperti mau nangis..., aku jadi salting (salah tingkah), cuap-cuapnya hilang sama sekali...

Aku serahin rantang itu ama fotografer itu, terus sama Ita, dia mandang aku sebentar, dan lihat jam tangan Swatch merah mudanya.

"Mas, boleh sore ini minta tolong dianterin ke rumah..?"

Aku gelagapan, nggak siap dengan pertanyaan semacam itu.

"Kamu tahu kan kalau aku naik vespa butut..?"

"Memang kenapa...?, aku cuman minta dianterin ke rumah, mau pake dokar kek, mau jalan kaki kek, mau dinaikin bajaj kek, mau nganterin aku nggak...?"

"Maunya sih mau, tapi aku minta bayar..."

"Berapa...?, asal jangan mahal-mahal yach.."

"Bayarannya kamu senyum sama aku satu menit...."

"Ah curang..., curang...!!!", cubitannya mendarat di pinggangku, waduh sakit sekali.

"Deal..?"

"Oke dech, tapi bayarnya besok ya jangan sekarang, aku lagi bete nih."

Setelah sesi pemotretan selesai, aku pun mengantarkan dia pulang dengan vespa bututku, baru saja mau naik motor Ita menangis terisak-isak, nah… aku salting lagi...

"Ada apa Ita…? tanyaku hati-hati.

"Aku benci…benci...aku benci hidup…"

Sumpah, aku tambah bingung dengan ucapannya itu. Menghambur dia ke dadaku, genggamannya memukul-mukul dadaku, wah… Ita ini apa nggak tahu apa kalau aku bukan olahragawan yang punya dada bidang, lagian aku kan nggak salah sama dia, kenapa aku yang dipukuli, gumamku dalam hati. Cacingan deh gue eh kasihan deh gue. Ahh, tapi aku diam saja, aku biarkan dia nangis dulu, biar amarahnya sedikit reda. Setelah menangis beberapa lama, aku peluk dia dan kududukkan di sadel vespaku yang udah mulai robek di sana sini.

"Kamu ada masalah apa Ita…?"

"Aku benci..., cowok-cowok itu pada ngejar-ngejar aku karena penampilan lahiriahku aja, mereka sama sekali nggak ada yang ngertiin aku, diajak yang hura-hura saja, ketika aku ada masalah tidak ada yang mau ngedengerin… hizk…hizk…huu…huu…"

Ah, ternyata tentang cowok, aku tahu memang ini gadis yang suka sama dia banyak, yah… teranglah udah cantik, model, baik lagi, terus gampang bergaul, dan nggak sombong. Kebanyakan mereka orang-orang tajirlah, tentengannya hp terbaru, tongkrongannya mobil-mobil mengkilap, tapi yah… itu memang nasibnya Ita kali yach.

"Mereka bilang cinta denganku, tapi aku tahu mereka tidak ada yang serius, jika saja aku tidak cantik mereka pasti tidak ada yang mau mendekatiku. Ego cowok terlalu tinggi, maunya menang sendiri, kalau butuh saja merengek-rengek datang, kalau sudah tidak butuh, sms aja nggak pernah apa lagi nelfon."

Ita sudah menyerang kaumku ini, welah-welah… tapi biarlah yang penting aku tidak merasa demikian. Yang ku lakukan hanya diam dan dengarkan omongannya.

"Maunya aku nurut sama dia, emang jaman Siti Nurbaya apa, wanita harus monggo kerso sama laki-laki, kita hanya jadi suboordinatnya, terus dunianya hedonis banget, pandangannya profan, kita kan sudah merdeka dari pemikiran konservatif"

Aku sedikit tersentak, gadis ini ternyata pinter juga, nggak tahu seberapa jauh, tapi kayaknya akrab dengan dunia feminisme. Aku beranikan ambil tissue di tangannya, dan aku hapus sedikit demi sedikit air matanya.

"Sudah marahnya…?"

Aku berhadapan muka sambil tersenyum, aku tahu aku nggak manis tapi ya sudahlah yang penting kan senyum.

Ehh, dianya mulai tersenyum..., singa betina yang tadi lapar siap merobek-robek mangsa sudah mulai menyurutkan taringnya.

"Tidak selamanya dunia ini seperti yang kita kehendaki, karena idealisme harus selalu berhadapan realita, duniamupun begitu nona manis, cobalah belajar dari apa yang dibentangkan Allah swt buat kita, jangan menyerah ketika kita tenggelam, ambillah sedikit hikmah dari pengalaman itu. Yakinlah, ada hikmah di sebalik setiap musibah"

Ita tersenyum lagi, dan menatapku dalam-dalam. Aku jadi salting lagi.

* * *

Matahari perlahan berjalan anggun meninggalkan tempat tidurnya, burung-burung berteriak-teriak kegirangan, ehmmm.., senyum Ita sudah menghiasi pagiku. Aku masih mengusap-usap mataku, menghilangkan sisa-sisa tidur yang masih terpampang di mata. Dia berjingkat-jingkat menggandeng tanganku, mengantarkanku ke kamar mandi, sehelai handuk putih yang sudah disiapkannya dari tadi disampirkan di pundakku.

"Sana mandi....., biar bau pete campur jengkolnya hilang" Ita mendorongku masuk ke kamar mandi sambil tertawa renyah, dan segera menutup pintunya.

Ahhh, Ita selalu datang pagi-pagi sekali ke rumahku kalau hari minggu, sejak kejadian sore itu, dia semakin manja denganku, dia bilang bahwa dia lebih nyaman bersamaku, bisa mengolok-olok aku, bisa bercanda bebas seperti monyet-monyet kecil, mencubit-cubit sekujur tubuhku sampe biru, tanpa takut sama sekali bahwa aku akan marah, karena aku memang tidak bisa marah.

Dia bilang juga kalau dia banyak mau belajar dari aku, belajar menghargai hidup, belajar mencintai kesederhanaan, belajar mandiri dan tidak menggantungkan diri pada orang lain. Lagi-lagi aku cuman bengong saat dia bilang seperti itu, bukankah itu sangat berlebihan untuk diucapkan kepadaku, seakan-akan aku telah menjadi seorang Batman, pemuda bertopeng dan berjubah kelelawar sang pembela kebenaran.

Ibuku selalu bilang untuk berhati-hati dengan wanita yang sedang jatuh cinta, karena cinta seorang wanita itu bagaikan cinta seekor anjing terhadap tuannya. Suka dan lara akan rela dijalaninya ketika wanita merasa sudah menemukan seorang pria yang patut dicintainya. Dia akan mengikutimu kemanapun engkau pergi, walaupun mungkin itu bisa membahayakan dirinya sendiri.

* * *

Teman-teman satu fakultas gempar, berita bahwa aku pacaran dengan Ita sudah merebak ke mana-mana. Banyak di antara mereka yang mencibir, mereka bilang hubungan kami tidak akan berjalan lama. Mereka seakan telah pernah membaca masa depan hubungan kami. Ada pula beberapa yang memberi ucapan selamat, mereka bilang hubungan kami adalah hubungan petir, hubungan yang menyatukan antara bumi dan langit, hubungan antara Shrek dan Putri Fiona, dan itu patut dirayakan, karena hubungan seperti ini sangat jarang ditemukan di jagad raya.

Hubungan kami ternyata berjalan lancer-lancar saja, sampai suatu saat aku bertemu dengan tetangga baruku, dia pindah dari kota L karena bapaknya lebih merasa cocok untuk menjalankan bisnis di kotaku, dan mereka membeli rumah persis di depan rumahku. Suatu sore mereka mengenalkan diri pada keluarga kami, lengkap dengan seluruh anggota keluarga, aku piker-pikir keluarga ini contoh keluarga berencana yang sukses, salah satu dari sedikit program yang cukup bagus yang diluncurkan peda pemerintahan presiden Suharto tempoe doeloe. Bagaimana tidak, mereka adalah keluarga yang terdiri dari 4 anggota keluarga, ayah, ibu, dan 2 anak. Seorang anak perempuan dan seorang anak laki-laki.

Perkenalan mereka cukup singkat, sampai aku sendiri tidak jelas mengingat nama-nama mereka, tapi ada semacam kekuatan yang menyihirku sehingga malam itu aku tidak bisa tidur, dalam perkenalan itu aku sempat bertatap pandang dengan gadis tetangga baruku itu, dia yang hanya diam saja sambil hanya sesekali tersenyum kalau ada pembicaraan antara bapak ibuku dan bapak ibunya dia yang lucu. Dia tidak berbicara sepatah katapun. Aku tidak tahu, hatiku mengatakan bahwa gadis ini mempunyai kekuatan yang tidak dipunyai oleh gadis-gadis lain. Kekuatan magisnya telah menyihirku semalam penuh tanpa aku bisa melawannya, sedikitpun tidak.

* * *

Hari berikutnya, saat aku sedang asik-asiknya membaca kisah-kisah petualangan anak-anak di depan rumah, gadis yang kemarin itu berjalan seperti macan luwe (singa lapar, jawa) menuju ke arah rumah kami, rambut hitam sepunggungnya tampak mengkilat-kilat dibelai sang mentari, dia membawa nampan kecil.

"Assalamu alaikum......, Kakak...ibu ada di rumah....?"

Aku geragapan, walau aku sudah melihatnya dari jauh sejak tadi, tapi toh aku grogi melihatnya.

"Eh...ehmm...anu....ibu lagi di belakang, mau dipanggilkan...?"

"Kalau kakak tidak berkeberatan"

Aku bergegas pergi kebelakang, mendapatkan ibuku sedang membikin sambal pecel untuk makan nanti malam. Karena langkahku terburu-buru seperti dikejar hansip, kakiku menabrak kaki meja dan aku hampir saja jatuh terjungkal di dapur. Ibuku menoleh sambil geleng-geleng.

"Bu, ada anaknya tetangga depan rumah itu datang, itu lho anaknya yang perempuan"

Ibu segera bangkit dari kesibukannya dan langsung menuju ke depan rumah.

"Eeehhh...Nak...!!!" kata-kata ibu tersendat, sepertinya ibu lupa nama gadis itu.

"Aisya Bu, nama saya Aisya..."

"Oh ya Aisya, saya lupa lagi namanya, silahkan masuk Nak Aisya..., Arya ini gimana...ada tamu kok nggak dipersilahkan masuk."

"Emmhh…anu Bu...!!!"aku jadi bingung ibu bilang begitu, tapi belum selesai kalimatku sudah dipotong oleh ibu lagi.

"Ada perlu apa Nak Aisya, ada yang perlu kami bantu...?

"Tidak kok Bu, saya hanya mengantarkan kue jajan buatan Mama untuk Ibu dan keluarga"

"Wah terima kasih sekali, sungguh bahagia kami mendapatkan tetangga baru yang begitu baik, repot-repot sekali Mamamu membuat kue buat kami, Arya temenin Nak Aisya ngobrol yach, Ibu mau ke belakang sebentar nyelesain sambelnya Ibu sama masukin kuenya ke kulkas buat buka puasa kamu nanti sore"

Ah Ibu..., kenapa kami ditinggalkan berdua... gumamku dalam hati.

Ruang tamu jadi sangat hening, sampai kudengar detakdetik- jarum jam mewarnai keheningan, kulihat sekilas Aisya juga cuma menundukkan muka, aku juga diam seribu bahasa. Aku tiba-tiba saja blank tidak tahu harus bilang apa.

Lima menit berlalu tanpa sepatah katapun, aku mulai tidak enak pada diriku sendiri, bukankah ibu tadi bilang kalau aku disuruh nemenin ngobrol dia. Ah.., aku lupa...aku bisa nawarin minum..

"Ehmmm, A..."belum sempat aku menyelesaikan kalimatku, ibu sudah datang dari belakang.

"Lho, kok diem-dieman aja berdua, Nak Aisya mau minum apa..?

Nah kan.., ibu mendahuluiku lagi...

"Makasih Ibu, saya mau permisi dulu, maaf musti nemenin Mama nyiapin kue buat ulang tahun adik saya Bayu besok."

Akhirnya Aisya pamitan dan meninggalkan rumah kami, aku menyesal sejadi-jadinya karena melewatkan kesempatan ngobrol sama dia tadi. Tibalah saat berbuka, aku mengambil air teh yang sudah dibuatkan oleh ibu dan segera kuminum tandas karena sangking hausnya, dan ibu segera memberikan kue yang dibawa Aisya barusan. Ibu segera menyuruhku makan, tetapi aku tidak punya nafsu makan, aku teringat kejadian di ruang tamu tadi saja. Sehabis sholat maghrib, Ibu memanggil aku ke kamarnya.

"Arya, kamu baik-baik saja khan...?"

Aku cium tangan ibuku dan aku menganggukkan kepala, pertanyaan ibuku yg sederhana ini menandakan bahwa dia sudah tahu gejolak dalam hatiku.

"Arya, ingatlah...cinta laki-laki itu seperti kucing, yang akan hinggap kemanapun dan ke siapapun yang memanjakannya. Kucing akan makan pemberian tuannya dengan lahap dan kadang-kadang mencuri yang bukan haknya. Tetapi kucing yang bijaksana akan tahu mana makanan yang seharusnya dia makan dan mana yang harus dia hindari. Pria yang bijaksana pun akan tahu membedakan antara wanita dan perempuan biasa."

Aku hanya bisa mengangguk atas nasihat ibuku. Ibu seakan tahu kemana darahku akan mengalir, seberapa cepat detak jantungku berdenyut. Aku cium tangan ibuku sekali lagi sebagai rasa terima kasih atas kata-kata bijaknya yang baru kudapat.

* * *

Hari-hari berlalu dengan cepatnya, hari-hariku diisi dengan canda tawa Ita yang tak ada henti-hentinyanya. Tapi hatiku tak bisa lepas dari sosok Aisya yang semakin lama semakin kusadari bahwa Aisyalah yang dimaksudkan Ibu sebagai wanita. Aku tahu itu dari perbincangan-perbincangan ibunya Aisya dan ibuku. Aisya adalah gadis yang sangat cerdas, berbudi halus bak Putri Solo baru turun dari taksi eh salah, dari kereta kencana, berprestasi di sekolahnya, kepandaiannya dalam seni tak usah diragukan lagi.

Dan semakin lama juga semakin kusadari, bahwa Ita adalah perempuan biasa, dia mungkin luar biasa di mata orang-orang, tapi sejatinya dia adalah perempuan biasa. Akhir-akhir ini dia sering menuntutku untuk berpakaian lebih perlente, menuntutku untuk lebih sering main di mall, menuntutku untuk mengecat vespa bututku biar kelihatan lebih bagus, mengganti joknya, dan sebagainya dan sebagainya.

Aku kembali teringat pesan ibuku beberapa bulan lalu, ibu bilang bahwa kebanyakan kaum perempuan terutama yang muda akan lebih cenderung mencintai laki-laki dan bukan pria. Karena laki-laki membuatnya bisa tertawa, sedangkan pria membuatnya tersenyum gembira, karena laki-laki menyajikan hiburan semata, sedangkan pria memberikan nasihat-nasihat yang bermakna. Karena laki-laki mempunyai lengan perkasa dan kuda-kuda bermesin, sedangkan pria hanya menawarkan kesederhanaan dan kasih sayang. Karena laki-laki memanjakannya dengan perhiasan dan kemewahan, sedangkan pria memujanya dengan kata-kata dan pujian.

Ah...seandainya Aisya tahu bahwa aku sangat mencintainya.

Rizal Ibnu Qosim

Pekanbaru, 2009

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Sobatku tinggalkan komentarmu sebelum meninggalkan blog ini. Okey choy...