Kitab-kitab kuning berbalut sampul tebal itu aku hamburkan ke seluruh sudut kamarku, satu sudutpun tak kubiarkan lepas dari cengkeraman kemarahanku. Goresan-goresan huruf Arab yang selama ini telah kupelajari dengan tekun ternyata tidak membawa hidupku menjadi lebih baik. Jeritan jiwaku sudah melelehkan belenggu besi yang selama ini terlalu kuat untuk aku lawan. Aku telah terkapar di lembah yang telah diciptakan oleh institusi-institusi bejat yang dilegalkan oleh waktu dan peradaban.
Daqaa'i qul Akbar, Ghoyat at-taqrib, Ushfuriyah, Fadhoilul Amal, aku tidak tahu lagi, berapa jilid kitab-kitab kuning yang telah aku pelajari. Aku hanya menghamburkan mereka, berharap ada yang mendengarkan kekecewaan hatiku. Lelah menangis, aku mengambil kitab terakhir yang masih tersisa di meja belajarku, Uqudul Lijain, spontan aku sobek-sobek lembaran itu, seakan membalas dendam atas isinya yang telah menyobek-menyobek harga diriku sebagai seorang wanita muslimah dan seorang manusia merdeka.
Diinginkan diriku oleh si tua itu, seseorang yang selalu memimpin sholat berjamaah di surau kampungku, yang sebelumnya telah mempunyai tiga istri, dan aku dijadikan pelengkap dikarenakan itu Sunnah Rasul. Tidak hanya sunnah bahkan, ditambahi label muákkadah dibelakangnya. Aku tidak habis mengerti, apakah orang-orang itu tidak bisa berhitung matematika, bahwa 2 itu lebih banyak daripada 1, dan kalau mereka mengerti hukum demokrasi, bahwa 2 itulah yang akan menang. Selalu mereka gembar-gembor ayat suci yang dipotong demi kepentingan patriarki, "kamu (laki-laki) boleh menikahi wanita satu, dua, tiga, atau empat", tanpa menyebutkan lanjutannya yang mengharuskan untuk berbuat adil, satu syarat yang sangat berat, bahkan Nabi Muhammad saw pun tidak bisa berbuat adil terhadap istri-istrinya, hanya adil lahiriah yang beliau bisa laksanakan, adil batiniah beliaupun harus angkat tangan. Apalagi jika ditambah dengan lanjutannya bahwa adil itu sangat susah bahkan mustahil terlaksanakan oleh seorang lelaki yang beristri lebih dari satu. Betapa berani mereka mendasarkan legalisasi poligami atas ayat suci Qurán yang mulia itu, sedangkan dengan pongahnya memotong sebagian untuk menonjolkan sebagian yang lain.
Berat sungguh kurasa, mataku semakin terpejam, seakan tak mau terbuka lagi. Hanya setetes demi setetes air mata yang menyelinap dalam ketertutupan itu. Kehidupanku selanjutnya pasti akan sangat berbeda dari hari-hariku sebelumnya. Dua hari ini perutku sudah tidak mau menuntut untuk diisi, hanya suaranya saja yang kadang mengganggu telingaku, tapi perintah hatiku tetap mengatakan tidak mau. Aku menutup jendelaku rapat-rapat, malu aku pada rembulan, tak ingin aku dibelai angin lagi, aku hanya ingin menyendiri dan meratap. Mencoba mencari sedikit alasan untuk tetap hidup dan berkarya sebagai makhluk.
Semakin larut, malam menarik selimutnya yang lembut, walau aku sudah tidak bisa merasakan kelembutan lagi. Kecantikanku selama ini ternyata tiada berarti, dan hanya akan kuserahkan kepada orang yang tak bisa aku mengerti. Untuk apa aku belajar selama ini, kalau ilmu-ilmu itu hanya dipelajari "bil barkah", hanya untuk mendapatkan berkah dari pengarang-pengarangnya yang telah dipeluk dan dilumat bumi ratusan tahun yang lalu, sedangkan ilmunya sendiri tidak bisa dipraktekkan, kalaupun bisa sudah ketinggalan kereta peradaban. Romantisme masa lalu berlebihan yang banyak dipunyai oleh manusia-manusia beragama di zamanku.
Kuhempaskan dalam-dalam mukaku di bantal, sedalam hempasan asaku yang telah mencapai titik terendah. Kucoba menahan nafas, berharap derita batinku berkurang, tapi ternyata tak membantu sama sekali. Paru-paruku terasa penuh oleh sampah-sampah kehidupan, digerogoti sedikit demi sedikit, menyakitkan dan mengantarkan bau-bau alam aneh yang tak dimengerti oleh seluruh badanku.
Kubalikkan badan lagi, mencoba menarik nafas dalam, sedalam tarikan lubang-lubang hitam atas bintang-bintang di sekitarnya, kuulangi berkali-kali, dan ternyata tak berpengaruh banyak. Kulepas satu persatu bajuku, jilbabku kulempar entah kemana, aku telanjang, tanpa sehelai kainpun menempel di tubuhku. Bersujud di kegelapan, sekali lagi aku meratap, dan ingatan-ingatan indah itu seakan mengejekku, saat aku masih menjadi idaman para pemuda kampung, saat aku masih bisa bebas berimajinasi dan melukis masa depanku, saat aku masih bisa berbicara tidak, saat daun-daun masih mengucapkan selamat pagi pada parasku. Telanjang seperti waktu aku pertama kali menghirup udara bumi, dan bersujud pada-Nya seperti sujudku waktu masih hangat mendiami uterus.
Sumpah serapah hatiku atas nasibku tak tertahan lagi, kuingin tumpahkan semua. Kenapa aku harus jadi korban sebuah anggapan yang belum tentu benar. Kalau mereka mau melaksanakan sunnah Rasul, kenapa mereka tidak mengawini janda-janda tua yang tidak punya perlindungan seperti yang dilakukan Rasulullah. Kalau benar mereka mau bersunnah, tidakkah mereka tahu bahwa istri Rasulullah yang cantik hanyalah Zainab dan Aisyah, sedangkan kiai calon suamiku ini memilih istri-istri muda dan cantik yang masih gadis saat dikawini. Dan aku tahu pasti laki-laki ini tak pernah menyentuh pekerjaan dapur, sedangkan Rasulullah Muhammad saw sering memasak untuk keluarga di waktu luangnya.
Genggaman tanganku kupukul-pukulkan ke lantai, berharap kesedihan ini mampu mengeraskan suaranya menembus batas-batas surga, sehingga Nabi Muhammad-ku mau mendengarnya. Mengharap kelembutannya dan kejeniusannya menuntut manusia-manusia yang mengaku mengikutinya tetapi sama sekali tidak mengerti pesannya. Semakin sakit jari-jemariku menabrak lantai-lantai dingin, tapi kesesakan jiwaku tak juga berkurang.
Tiba-tiba teringat aku akan tajamnya pisau yang sering aku pakai untuk memotong bunga mawar di belakang rumahku, kilauannya menarikku untuk memeluknya, tidak hanya memeluk, tetapi mendekap manja. Seerat mungkin, membagi dukaku, dan karena memang tajamnya setajam dunia yang telah merobek hidupku. Darah berlumuran, hanya kurasakan alirannya, karena gelap menghilangkan warnanya.
Tak lama kemudian, aku bisa melihat tubuhku sendiri, telanjang penuh darah, memeluk lantai, dan tangis membahana dari sanak saudaraku.
Rizal Ibnu Qosim
Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan
Jurusan Agrobisnis Perikanan
2009
cerpen ini kok g ada dialo ?
BalasHapusmenurutku cerpen akan lebih mudah di menegerti dengan dialog.
tapi, udah bagus kok...